“Literasi kita tumbuh dalam ironi: dirayakan dalam festival, tetapi diabaikan dalam kebijakan.” Barangkali, demikianlah suara nyaring yang akan membayangi pembaca selepas menyelami buku ini—ia boleh dikatakan sebagai gugatan sekaligus refleksi. Ilham Rabbani menulis dengan mata awas dan pena tajam: menyigi realitas literasi di Indonesia bukan sebagai utopia, tetapi sebagai problematika yang kompleks—tercerabut dari struktur, terkepung oleh romantisme, dan kerap dirayakan hanya sebagai kemasan kosong.
Lewat narasi-narasi yang mengalir dari Yogya ke Purwokerto, dari Praya ke Mataram, Rabbani menyusun mosaik kritik sosial, menghadirkan kisah-kisah komunitas dan individu yang bertahan di tengah apatisme struktural. Ia mempertanyakan peran negara, mengecam GPT-isme di ruang kelas, dan menyodorkan argumen tentang bagaimana literasi hari ini lebih sering menjadi kosmetika politik ketimbang praksis pemberdayaan.
Literasi: Fenomena, Habituasi, Refleksi sama sekali bukan bacaan manis tentang pentingnya membaca dan menulis—ini adalah buku yang mempertanyakan seluruh fondasi narasi itu. Provokatif, reflektif, dan tidak segan menyentil siapa pun yang memosisikan literasi hanya sebagai jargon.