Menangis adalah suatu tindakan, respons yang memiliki bentuk dan bunyi. Kita mempunyai hak menangis untuk merespons rasa sakit, namun kita tidak mempunyai kewajiban untuk tidak menangis ketika rasa sakit datang. Bukankah sangat bahagia, ketika hak menangis kita terima dengan lapang dada?
Sehingga, pada buku “Letak Kebahagiaan Menangis” yang berisi 57 puisi ini, puisi pertama yang dipaparkan penulis adalah mengenai siapa yang paling luka: manusia yang bisa menangis atau batu yang hanya bisa diam?
Betapa sedih batu-batu, mereka hanya bisa diam dan pasrah ketika di-apa-apakan. Sehingga saat air mata sampai dikutuk menjadi batu, mereka berharap ada kekasih yang mirip Sisifus, yang rela membawa mereka ke atas bukit dan melepaskannya. Lalu menggelundung. Lalu bergerak. Kemudian bersuara. Takada yang lebih bahagia (dan sering dianggap sia-sia) bagi sesuatu yang tadinya hanya diam menjadi bisa bergerak dan bersuara.
Maka dari itu, berbahagialah saat mata kita masih bisa mengeluarkan hujan. Tugas kita cukup menjadi bumi yang luas dan lapang sebelum semuanya dikutuk jadi diam oleh berbagai keadaan.